Saturday, June 8, 2013

Meluruskan Makna Jihad dalam Islam

Meluruskan Makna Jihad dalam Islam
 

Terendusnya komplotan terorisme oleh Densus 88 di berbagai daerah di nusantara ini semakin membuka tabir kuatnya Indonesia sebagai sarang terorisme. Hal ini juga menjadi momok bagi agama Islam, karena ditengarai aktor dibalik komplotan tersebut adalah kelompok Jamaah Islamiyah (JI) yang seringkali membawa kata-kata Jihad dalam segala aksinya. Tentu akan semakin memperburuk citra agama Islam bila tidak dilakukan pelurusan makna Jihad yang sesungguhnya, yang diperbolehkan dalam ajaran Al-Qur’an.
Sudah menjadi rahasia umum, pasca berbagai aksi teror di beberapa belahan dunia ini, perang melawan Islam militan atau fundamentalis sudah identik dengan perang melawan terorisme. Amerika sebagai negara adidaya berdiri dibalik perang tersebut. Bahkan selain memerangi kelompok bersenjata Islam, mereka juga memerangi pendidikan Islam. Terlihat pada pasca Tragedi WTC dan Pentagon pada 11 September 2001, pendidikan berbasis Islam di Arab Saudi dirubah karena dianggap menyumbang pada radikalisme.
Islam semakin terpuruk seiring semakin merebaknya terorisme di belahan dunia. Padahal dalam ajaran Islam sendiri diajarkan bagaimana dalam konteks sosial selalu mengedepankan nilai-nilai pluralisme, humanis dan menjaga keharmonisan terhadap sesama (hamblum min an-Nas) serta merawat lingkungan sekitar (hablum min al-Alam).
Dalam sejarah, Nabi Muhammad hanya memperbolehkan memerangi orang kafir yang mengganggu terhadap kehidupan Islam, baik secara fisik maupun keinginan merongrong dari dalam. Akan tetapi, dalam setiap medan peperangan, Islam dilarang keras merusak fasilitas umum, tumbuh-tumbuhan, serta membunuh anak kecil dan wanita yang tidak ada sangkut pautnya dengan perang tersebut. Maka sudah jelas, aksi bunuh diri yang dilakukan oleh kelompok teroris dengan mengatasnamakan jihad fi sabilillah, merupakan kesalahan fatal dan tidak terdapat landasan hukum yang jelas.

Jihad dalam Islam


Pada mulanya, ekspansi atau perluasan wilayah (kekuasaan) dalam Islam lebih dikenal sebagai bagian usaha penyebaran ajaran (dakwah) Islam. Ekspansi sepanjang sejarah awal Islam telah menghasilkan beberapa peperangan. Untuk mendorong orang agar bergabung dalam usaha perluasan itu, lalu diserukan istilah jihad sebagai artikulasi dari keinginan berperang atau berjuang di jalan Tuhan. Karena berjuang di jalan Tuhan maka praktik jihad dapat dilihat bagian dari ibadah, sedangkan gugur pada saat menjalankan ibadah kepada Tuhan dihukumi syahid dengan pahala kelak akan masuk surga.
Dalam sejarah Islam, praktik jihad tersebut telah menghasilkan ekspansi teritorial yang konstan yang dalam dimensi kemiliteran telah mengakibatkan ekspansi imperium Islam. Namun dalam setiap ekspansi yang dilakukan, umat Islam tidak melakukan konvensi atau pemindahan agama penduduk lokal yang ditundukkan untuk memeluk agama Islam, tapi tetap pada kepercayaan semula dan mereka berada dalam lindungan dan kekuasaan umat Islam.
Arkeologi sosiologi masyarakat Arab yang menjadi setting turunnya Islam di satu sisi dan spiritualitas ajaran Islam di sisi lain, memang agak sedikit mengganjal untuk melihat kemungkinan lain dari anggapan kepercayaan (tentang jihad) yang secara mapan sudah tertanam selama ini. Kalaupun terjadi periwayatan atau hadist yang mengindikasikan motif-motif ekonomi di balik ekspansi, tapi seringkali dielaminasi dengan corak pendekatan eskatologis. Sehingga makna terdalam dari setting sosial yang menjadi background lahirnya pemahaman yang utuh terhadap sejarah Islam sulit diwujudkan.
Disamping itu juga, ayat-ayat tentang jihad tidak menunjuk pada satu pemahaman yang betul-betul jelas. Apakah Al-Qur’an memperbolehkan memerangi orang “kafir” hanya sebagai usaha mempertahankan diri (defensif) dari agresi ataukah dalam segala keadaan (ofensif). Sehingga keberadaan ayat-ayat jihad tersebut sangat interpreteble yang dalam kenyataan sejarah Islam telah memunculkan makna sosial politik yang sangat beragam. Dan berlanjut, tentang jihad itu sendiri yang sekarang masih terjadi salah tafsir.
Sehingga yang terjadi sejarah pun mencatat, tidak ada motif perang (jihad) yang paling mengerikan selain atas nama agama. Bahkan, hal ini melebihi perang antar etnis, suku dan ras yang membuat kita selalu miris ketika menyaksikannya. Agak berlebihan memang, tapi itulah realitas yang terjadi. Perang Salib satu dan berlanjut yang kedua, antara Umat Kristiani dan Islam, merupakan salah satu contoh aksi jihad atau ekspansi (berperang) yang mengatas-namakan agama dan berakhir dengan jatuhnya korban yang begitu banyak.
Karena agama, manusia pecinta damai akan menjadi sadis dan amoral. Bahkan, yang lebih ironi, mereka telah merusak substansi dari ajaran agama itu sendiri. Yaitu, manusia beragama mempunyai nilai pencinta damai, bermoral, dan taat pada aturan. Karena menyalahi substansi, stigma jelek akan menggantikan nilai-nilai luhur tersebut walaupun tanpa dikehendaki sekalipun. Maka tidak salah, bila para filosof seperti Nietzsche dan Sartre memilih jalur atheisme dalam masa hidupnya. Karena mereka kadung mengklaim secara utuh, bahwa keberadaan Tuhan sebagai wujud implementasi dari suatu agama sudah tidak ada relevansinya di permukaan bumi ini, bahkan cenderung menjadi salah satu faktor dari segala kekacauan yang ada.

Agama dan demokrasi

Secara langsung, agama dan demokrasi adalah dua hal yang sangat bertolak-belakang. Agama merupakan konsep-konsep kehidupan yang berasal dari kekuatan transenden yang termuat dalam wahyu, sementara demokrasi merupakan racikan pergumulan pemikiran manusia. Namun dalam praksisnya, tidak ada yang menghalangi konsep-konsep agama berdampingan dengan demokrasi. Agama memiliki nilai-nilai yang bahkan sangat menjunjung ide-ide demokrasi, seperti nilai persamaan hak dan bahwa semua orang sama.
Sementara dari semua perbedaan aplikasi demokrasi, esensi yang selalu diajarkan adalah asas kedaulatan rakyat, penghormatan hak-hak asasi manusia, serta keadilan sosial. Dengan mencermati asas-asas demokrasi ini, agama semakin dapat mengidentifikasi mitranya dalam mewujudkan suatu masyarakat yang adil, lahir dan batin. Selanjutnya, konsep demokrasi dipahami sebagai kategori yang berhubungan langsung dengan dunia politik. Yaitu, sistem kekuasaan yang didasarkan pada kedaulatan rakyat, perimbangan kekuasaan yang berpijak pada kekuatan nyata antara rakyat dan pemerintah.

4 comments:

Komentar Anda Sangat Berarti